Kamis, 06 Januari 2011

HARI SABAT

Markus 2:23-28
By Hikman Sirait

Sabat dalam bahasa Ibrani adalah syabbat yang berasal dari akar kata syavat, “berhenti”, “melepaskan”. Intinya hari Sabat itu merupakan satu dari tujuh hari yang harus diindahkan sebagai hari suci bagi Allah (Keluaran 20:8-10).
Dari kata Ibraninya bisa ditarik kesimpulan bahwa hari Sabat itu sendiri diadakan untuk manusia, agar manusia pada hari itu berhenti dari pekerjaannya untuk “disegarkan” (wayyinafasy-Ibrani) atau beristirahat (Keluaran 31:17) untuk memulihkan fisik, mental, maupun spiritualnya alias menenangkan diri (1 Petrus 4:7).
Makna rohani dari hari Sabat adalah perhentian dimana manusia mengkhususkan hari itu untuk menjalin persekutuan yang erat dengan Allah dan menjalin persekutuan itu merupakan kegiatan yang harus dilakukan terus menerus.
Ditarik lebih dalam lagi, persekutuan manusia dengan Allah tidak hanya dilakukan satu dari tujuh hari yang ada dalam seminggu. Tetapi persekutuan yang manis dengan Allah harus terus dilakukan setiap waktu dan berkelanjutan, sebab persekutuan dengan Allah akan  membawa manusia semakin dekat dengan Gembala Agung. Semakin dekat dengan-Nya maka keadaan manusia dipulihkan dan diperbaharui (Mazmur 23).
Bukan berarti pada hari Sabat itu manusia tidak boleh melakukan kegiatan lain, seperti makan atau menyembuhkan orang sakit, atau membantu mereka yang membutuhkan pertolongan. Namun inti dari hari Sabat adalah manusia tidak melakukan kegiatan  untuk keuntungan pribadi, melainkan kegiatan yang dilakukan harus ditujukan kepada Allah (1 Petrus 4:11) dan bagi kemuliaan Allah.
Lagi pula, kegiatan yang dilakukan pada hari Sabat hendaknya sesuai dengan hukum kasih yang disampaikan Tuhan Yesus Kristus, yakni kasihilah Tuhan Allah dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap kekuatanmu, dan dengan segenap akal budimu, serta kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri.
Yang terjadi, seringkali manusia membuat aturan-aturan sendiri yang lebih keras dari apa yang telah ditetapkan Allah, sehingga ibadah yang dilakukan kepada Allah karena keterpaksaan. Yang terjadi bukan penundukan diri yang tulus pada Allah, tetapi penundukan diri pada aturan gerejawi yang menakutkan. Yang terjadi bukan persekutuan yang membawa sukacita, melainkan kegiatan yang melelahkan dan membuat jenuh.
Bukankan menambahkan atau mengurangi dari apa yang Allah tetapkan merupakan suatu kejahatan?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar