Selasa, 04 Januari 2011

PENDETA KAMPUNG

Suasana Yogyakarta ditengah hiruk pikuknya situasi politik soal penetapan atau pemilihan Gubernur ternyata tak mengubah kota Gudeg ini sebagai kota yang nyaman untuk berlibur.

Tuhan Yesus memang punya rencana yang indah. Kepulangan saya dan istri ke Yogyakarta akhir Desember tahun 2010 untuk berlibur ternyata menjadi masa-masa pelayanan yang berkesan dan memberikan pelajaran yang berharga.

Tuhan pertemukan kami dengan salah satu (yang menurut orang-orang kota dan orang-orang berpendidikan teologi) “Pendeta Kampung”.
Yang terhormat, Pendeta Markus Kenti memang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan “dipaksa” meneruskan ke Sekolah Alkitab. Tetapi melalui “Pendeta Kampung” inilah pandangan kita soal pelayanan berubah 180 derajat.

Pertemuan dengan “Pendeta Kampung” ini ternyata menguak adanya lubang kesombongan rohani yang terbenam di dalam lubuk hati kita. Mungkin benar khotbah-khotbah kita, tulisan-tulisan kita di majalah rohani dan di blog banyak memberkati anak-anak Tuhan. Mungkin benar kita sudah melakukan penginjilan.  Tetapi ketika mendengar cerita bagaimana “Pendeta Kampung” ini dipakai Tuhan dan diberkati Tuhan dalam pelayanan dan kehidupan rumah tangganya, maka apa yang kita pikir sudah banyak kita lakukan untuk Tuhan seakan-akan sirna ketika berhadapan dengan hamba Tuhan wong deso ini.

Bayangkan saja, lebih dari 90 persen dari sekitar 150 jemaatnya berasal dari agama keturunan Ismail. Bukan hanya itu, Tuhan juga tanamkan kerinduan dihatinya untuk terus menerus melakukan penginjilan, mencari jiwa-jiwa yang terhilang untuk direbut bagi Kristus. Tiada hari tanpa penginjilan. Tiada hari tanpa melayani pos-pos Pekabaran Injil meskipun jaraknya sangat jauh.

Pos Pekabaran Injilnya terbentang di sekitar kaki gunung Merbabu dengan orang yang ada di dalam pos Pekabaran Injil itu adalah petobat-petobat baru yang sebelumnya memang tidak mengenal Kristus.

Jikalau kita di kota lebih sibuk dengan merebut jiwa-jiwa milik gereja lain, “Pendeta Kampung” ini justru merebut petobat-petobat baru lalu membawa mereka ke gereja lokal yang terdekat dari rumah petobat baru itu. Bagi Pendeta Markus Kenti, tidak masalah petobat-petobat baru itu tidak beribadah di gerejanya, yang terpenting petobat-petobat baru itu harus dipelihara dan mendapatkan makanan rohani. Artinya beliau juga mengajarkan kepada pendeta dari gereja lain untuk berbagi tanggung jawab memelihara jiwa-jiwa milik Allah.

Pak Pendeta tidak pernah merasa rugi dengan mengetok pintu agar gereja-gereja lokal menerima petobat-petobat baru hasil penginjilan yang dilakukannya, karena baginya jiwa-jiwa adalah milik Kristus, dan Pak Pendeta mengaku hanya sebagai hamba. Mungkin inilah hikmat yang Tuhan berikan kepada sang Pendeta sehingga beliau disegani oleh pendeta dari gereja manapun di empat Kabupaten, dari Magelang, Temanggung, Boyolali hingga Salatiga.

Bisa dibilang pelayananannya kepada petobat-petobat baru justru menguras keuangan keluarga Pak Pendeta yang bisa dibilang sangat-sangat terbatas. Kadangkala ia memang mendapatkan persembahan dalam pelayanan ibadah di gerejanya maupun di pos Pekabaran Injil, tetapi nilainya saja tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkannya. Maklum, persembahan orang desa yang tulus memang masih alakadarnya sesuai dengan perekonomian mereka.

Disinilah Tuhan Yesus menunjukkan karyanya yang luar biasa. Tidak pernah Pak Pendeta Markus Kenti dan keluarganya berutang kepada orang lain. Tidak pernah ia meminta minta dana kepada donatur dalam pembangunan gerejanya. Untuk pembangunan gereja yang dilakukan setahap demi setahap, biayanya semua Tuhan kirim melalui orang yang justru tidak dia kenal. Bahkan mobil carry yang dimilikinya justru didapatnya melalui hasil tukar guling dengan seorang Haji yang herannya bisa kesengsem dengan mobil bututnya. Allah juga selalu memenuhi kebutuhan biaya sekolah ketiga anaknya sehingga salah satu anak gadisnya saat ini sudah kuliah di UKSW.

Bencana Merapi ternyata Tuhan ijinkan terjadi karena Tuhan ingin gereja-Nya benar-benar menjadi terang bagi dunia. Gereja Pak Pendeta menjadi salah satu yang dipercaya para donatur untuk menyalurkan bantuan bencana.

Apakah dia lebih mementingkan kebutuhan dirinya sendiri atau jemaatnya? Ternyata tidak. “Pendeta Kampung” ini justru bersikap adil dengan membagikan bantuan sama rata-sama rasa kepada jemaat maupun kepada warga non Kristen. Bahkan jikalau bantuan bencana yang ada hanya sedikit, beliau mengajarkan kepada jemaat untuk mengutamakan warga non jemaat dan warga non Kristen. Alhasil, pasca bencana merapi, gereja,Pak Pendeta dan Jemaatnya  benar-benar menjadi terang di tengah kegelapan.

Banyak berkat yang diterima hamba-Nya ini entah dari manapun. Tetapi ketika ia menerima, yang ada dipikirannya justru domba-domba Allah alias jemaat dan warga sekitar. Berkat materi yang ditujukan khusus untuk dirinya dan keluarganya justru disalurkannya untuk kepentingan gereja, jemaat dan warga sekeliling.

Ini tercermin dari cara berpakaian dan kehidupannya yang sangat sederhana. Bajunya memang bersih tetapi bukan barang baru. Celana panjang yang dikenakannya juga bersih tetapi terlihat sudah tua.

Demikian juga dengan sepatu yang dikenakannya, seakan-akan sepatu lusuh itu saja yang ia miliki. Dengan kesederhanaannya itu, sukacita justru terus terpancar di matanya dan dimata istrinya serta anak-anaknya. Pelayanannya penuh dengan sukacita. Para pengerjanya justru melayani dengan penuh sukacita walaupun tidak dibayar sesenpun. Ketika beribadah di tempatnya, serasa surga melingkupi hati kita.
Banyak sekali hal-hal luar biasa yang Tuhan ijinkan untuk kita pelajari dari sang “Pendeta Kampung” dan sayangnya tidak semua bisa diungkapkan melalui blog ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar