Kamis, 18 Maret 2010

GEREJA DAN SUMBER DAYA MANUSIA BERKUALITAS (I)

By: Hikman Sirait
Praktisi Pasar Modal dan Pengamat Sosial Ekonomi
Majalah Gaharu Edisi April-Mei 2010

Seorang Pendeta dari salah satu wilayah di Jawa Tengah ketika memiliki kesempatan berkunjung ke Jakarta menyempatkan diri berdiskusi dengan penulis tentang kondisi jemaatnya yang mayoritas terbilang kurang mampu secara ekonomi, sehingga kegiatan misi apapun yang direncanakan, mustahil bagi gereja untuk merealisasikannya. Mengapa? Karena gereja dan jemaat memang tidak mempunyai dana untuk menyokong kegiatan misi gereja, selain kegiatan ibadah rutin.
Menit demi menit, jam demi jam berlalu, kopi demi kopi diteguk, cemilan-pun telah ludes, diskusi terus berlanjut. Dari pembicaraan maraton itu diketahui bahwa wilayah di mana tempat Pendeta itu berada memiliki sumber daya hasil tangkapan ikan dari para nelayan.
Ide yang menarik yang disepakati untuk dikerjakan saat itu adalah membentuk Koperasi Unit Desa (KUD) skala kecil yang akan dijalankan oleh gereja atau warga jemaat gereja. KUD ini akan menampung ikan tangkapan para nelayan untuk kemudian. Ikan-ikan yang ditampung itu bisa dijual lagi ke pasar, atau diolah menjadi bahan setengah jadi bahkan bahan jadi dengan harga jual (selling price) yang lebih tinggi.
Singkat cerita, dengan pengetahuan dan pengalaman (walau terbatas) yang dimiliki, penulis berusaha memberikan motivasi, penjelasan dan menyusun step by step bagaimana mewujudkan rencana pendirian KUD, operasional, sampai pada tahap bagaimana memasarkan kembali ikan-ikan tersebut maupun produk turunannya, sehingga bisa dicapai profit yang nantinya berguna bagi gereja atau warga jemaat yang mengelolanya secara bersama-sama.
Mungkin para pembaca penasaran sudah sampai sejauh mana kesuksesan dari rencana pembentukan KUD penampungan ikan dan pengolahan ikan tersebut? Mau tahu hasilnya? Nothing, nol besar.
Apakah hamba Tuhan tersebut hanya seorang Pendeta yang suka omong besar? Jawabannya jelas tidak. Setahu penulis beliau memiliki integritas dan rendah hati. Lalu mengapa rencana yang dibahas berjam-jam menghabiskan tenaga dan pikiran itu tidak terealisir?
Langkah-langkah yang disusun dalam pembicaraan kami sudah berupaya diikuti. Tapi banyak kendala yang memang tidak bisa “diterjang” oleh rekan hamba Tuhan itu. Sumber daya gereja sangat-sangat terbatas, baik itu sumber daya manusianya maupun dana atau modal. Dari sisi sumber daya manusia, tingkat pendidikan dan pengetahuan jemaat cukup rendah, praktis hanya Pendeta tersebut yang sarjana (S1), itupun lulusan teologia yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman bisnis. Demikian juga dari sisi modal, tak bisa diharapkan dan itu sudah dijelaskan pada awal tulisan.
Beliau sudah mencoba untuk meminta tolong atau bekerja sama dengan Pendeta dari gereja lain di wilayah itu namun tak membuahkan hasil. Tetapi bisa saja gereja yang diminta bantuan juga mengalami masalah yang sama dengan si Pendeta. Kalau pemerintah dan perbankan saat itu tak bisa diharapkan karena tidak ada aset yang bisa dijaminkan, apalagi yang mengajukan proposal adalah kelompok masyarakat Kristen. Lalu bagaimana dengan gereja-gereja yang sudah “kaya”? Penulis tidak usah menjawab, karena berkaca dari pengalaman yang ada pasti para pembaca sudah mengerti jawabannya.
Ya, pada akhirnya rencana brilian membentuk KUD skala kecil gagal total. Kehidupan ekonomi gereja dan jemaat tetap seperti sedia kala. Banyak jemaat ada yang “lari” ke kota besar untuk mendapatkan pekerjaan guna memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Alhasil bangku gereja banyak yang kosong melompong. Mungkin kasus yang hampir mirip banyak dialami gereja lainnya di kota-kota kecil atau ke desa-desa dan banyak gereja-gereja “kaya” yang tak peduli akan hal ini.
Meminjam kata-kata Pdt. Dr. Eka Darmaputera, dalam sebuah tulisannya, gereja belum mempunyai visi yang sama, apalagi strategi pokok yang satu. Pemikiran-pemikiran dan kepentingan yang “sempit” membuat banyak gereja belum menjadi terang bagi pihak lain. Terpecah-pecahnya gereja juga akan memperlemah daya saing “nasional” kita dan daya saing “global”.
Gereja dan para pemimpin gereja, entah itu dari denominasi manapun, entah itu dari penganut doktrin apapun hendaknya bisa menatap jauh ke depan bahwa di era globalisasi seperti sekarang ini garis politik ataupun kekuatan negara secara fisik maupun kuantitatif tidak lagi menjadi tolok ukur kebesaran suatu bangsa.
Berbicara lingkup gereja secara eksternal, kita tidak bisa bangga hanya karena gereja memiliki jemaat yang jumlahnya di atas 100 jiwa. Kita tidak bisa bangga hanya karena beribadah di tempat yang terbilang cukup wah dengan air conditioning (AC) yang super dingin. Kita tidak bisa bangga hanya karena ada satu atau beberapa konglomerat yang menjadi jemaat gereja. Bukan itu yang menjadi patokannya. Kita boleh sedikit berbangga jika semua warga jemaat gereja, entah itu dari denominasi manapun dan doktrin apapun hidup bergandengan tangan (unity), saling membantu, saling membangun, saling peduli satu dengan yang lain hingga mencapai tujuan hidup “makmur” di dalam Kristus.
Gereja-gereja “kaya” sudah harus berpikir bahwa gereja “miskin” yang tersebar di seluruh Indonesia adalah bagian dari aset mereka di dalam satu-kesatuan tubuh Kristus. Gereja dan pemimpin gereja sudah harus menanggalkan ego-nya dan meningkatkan kerendahan-hatinya. Kristus berkata dalam Lukas 22:26, “Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan.” Bukankah gereja-gereja “kaya” seharusnya mempunyai jiwa melayani dengan membantu dan menolong saudaranya gereja-gereja “miskin” dari kesulitan yang mereka hadapi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar