Kamis, 18 Maret 2010

GEREJA DAN SUMBER DAYA MANUSIA BERKUALITAS (II)

 By: Hikman Sirait
Praktisi Pasar Modal dan Pengamat Sosial Ekonomi
Majalah Gaharu Edisi April-Mei

Mungkin ada di antara para pembaca yang berkata, “Itu tidak gampang”. Benar sekali, membantu gereja lain yang berbeda “warna” dengan kita memang tidak segampang membalikkan telapak tangan. Tak bisa dengan kata “Bim Sa La Bim…”. Tuhan Yesus sendiri sudah “menginvestasikan” nyawanya yang membuahkan keselamatan bagi umat manusia. Gereja-gereja “kaya” dengan segala ketulusan harus berani melakukan
investasi, baik itu waktu, pikiran, tenaga, dana, hingga doa, bagi kebangkitan gereja-gereja “miskin”.
Ketika gereja-gereja “kaya” dengan berbagai cara baik melalui pendidikan dan pembinaan berhasil memacu gereja “miskin” berubah menjadi gereja “kaya”, maka gereja “miskin” yang menjadi “kaya” itu akan mencoba membantu gereja lain yang masih “miskin”. Sementara gereja “kaya” yang pertama melebarkan sayapnya dengan membantu gereja “miskin” lainnya, sehingga kemudian ada dua gereja “miskin” lagi yang diberdayakan sehingga mampu mandiri dan meninggalkan kemiskinannya. Dengan demikian terbentuklan pembangunan ekonomi gereja dengan konsep diamond seperti multi level marketing (MLM). Bisa kita bayangkan jika konsep ini terus berlanjut. Tak mustahil semua gereja di Indonesia kemudian akan menjadi “kaya” dan memiliki daya saing secara “nasional” maupun “global”.
Berbicara lingkup gereja secara internal, kita semua umat Kristiani sudah harus mengerti dan menyadari bahwa pertarungan sejatinya di era globalisasi dengan teknologi yang serba modern ini sudah merambah dan masuk ke bidang sumber daya, terutama sumber daya manusia. Dengan pemahaman bahwa semua sumber daya adalah aset yang berasal dari Tuhan, maka aset yang beraneka ragam inilah yang harus kita padukan menjadi potensi besar yang bermanfaat bagi gereja dan jemaat.
Berangkat dari sini gereja dan para pemimpin gereja tidak bisa mengelak lagi dari keharusan menggunakan “cara pikir dan cara kerja” dengan oritentasi bisnis, tetapi tetap dalam etika Kristen dan berlandaskan firman Tuhan yang kudus. Pengertiannya adalah gereja dan pemimpin gereja menjadikan keduanya sebagai salah satu pelengkap untuk kelancaran pelaksanaan tugas Gereja, bukan semata-mata mencari uang atau keuntungan saja. Bahasa sederhananya, “cara pikir dan cara kerja” dengan oritentasi bisnis ini dimaksud untuk menggali potensi sesungguhnya dari gereja dengan harapan memperoleh dan memaksimalkan segala sumber daya yang ada untuk selanjutnya melakukan investasi terhadap berbagai macam aset gereja yang menguntungkan.
Bila gereja kita sejajarkan sebagai compyani/relegious company (layaknya perusahaan sekuler), berarti gereja dan pemimpin gereja mulai sekarang harus menganggap jemaat, termasuk yang miskin sebagai aset yang berharga, mereka bukan sebagai pelengkap penderita. Jemaat miskin di gereja manapun merupakan sumber daya manusia yang sebenarnya cukup potensial jika dikelola dan dikembangkan dengan baik, karena jumlah mereka yang sangat signifikan.
Apanya yang perlu dikembangkan? Yang paling penting adalah meningkatkan sumber daya manusianya lebih dahulu, karena sumber daya manusia yang handal akan menciptakan efisiensi dan kerja yang lebih efektif, termasuk dalam pelayanan di gereja maupun lingkungan sosial masyarakat. Banyak cara bisa dilakukan gereja untuk meningkatkan sumber daya manusia yang ada di dalamnya.
Pertama-tama gereja bisa membuka seminar-seminar rohani dengan mengusung tema membangun sumber daya manusia berkualitas. Tujuan seminar rohani ini adalah mengikis mentalitas kemiskinan (poor of mentality) yang sudah mengakar di kalangan jemaat. Banyak contoh di mana jemaat miskin menjadi malas bekerja karena merasa sudah nyaman mendapat bantuan dari gereja. Malah ada yang menolak bekerja karena upah diberikan tidak sebesar yang diharapkan atau tidak lebih besar dari yang diberikan gereja. Mereka yang sudah ternina-bobokan berpikir lebih enak menerima bantuan gereja tanpa perlu bersusah-payah. Yang berat, ternyata banyak diantaranya yang menikmati menjadi orang miskin. Jadi gereja punya tanggung jawab menggempur mentalitas kemiskinan ini dengan firman Tuhan.
Selanjutnya gereja perlu membuka seminar-seminar yang bisa memberikan motivasi sebagai tindak-lanjut untuk terus mendorong terjadinya perubahan pola pikir jemaat yang tadinya malas dan bersikap pasrah menjadi jemaat yang memiliki semangat dan daya juang yang tinggi untuk maju. Gereja harus bersikap tegas dengan memberikan bantuan yang lebih mendidik, yang membuat mereka lebih bertanggung-jawab terhadap hidupnya.
Langkah berikutnya yang baik dilakukan gereja adalah membuka pelatihan-pelatihan praktis yang membentuk dan mengasah skill mereka. Ruang-ruang pelatihan, baik itu soal manajemen risiko dan pelatihan kerja di maksud untuk membentuk, memperbaiki dan mempertajam skill jemaat miskin. Dengan demikian, berarti gereja sedang mempersiapkan “senjata” pamungkas untuk menghadapi “perang” terbuka di dunia usaha. Percaya tak percaya, siapa yang tidak memiliki skill akan digilas zaman yang semakin beringas.
Pola pikir positif serta skill yang handal dan berkualitas menjadi modal bagi gereja dan jemaat untuk membuka lapangan pekerjaan dan siap menghadapi persaingan dunia usaha. Dengan demikian tidak perlu lagi takut menghadapi perjanjian perdagangan bebas atau Asean-China Free Trade Agreement (ACHTA) yang telah memakan banyak korban di sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Gereja dan jemaat tidak perlu khawatir lagi “berperang” sumber daya manusia dengan saudara-saudara dari bani kedar, karena gereja dan jemaat sudah siap “berperang” plus dibekali firman Allah.
Salah satu orang bijak mengatakan, skill adalah kemampuan praktis untuk mewajudkan sesuatu, sebuah jalinan tangan dan hati dalam melakukannya, Kel. 36:2, “Lalu Musa memanggil Bezaleel dan Aholiab dan setiap orang yang ahli, yang dalam hatinya telah ditanam TUHAN keahlian, setiap orang yang tergerak hatinya untuk datang melakukan pekerjaan itu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar