Kamis, 18 Maret 2010

YUSUF DAN MENGATASI KEMISKINAN DALAM GEREJA II

Hikman Sirait
PraktisiPasar Modal & Pengamat Sosial Ekonomi


Kembali ke pokok permasalahan. Apakah tugas para pemimpin gereja hanya sampai pada tahap penyampaian visi saja secara menggebu-gebu, tanpa ada tindak lanjutnya? Apakah para pemimpin gereja ingin berkata, “Saya sudah menyampaikan apa yang Allah ingin katakan, langkah selanjutnya terserah anda yang mendengarkan”.
Jika benar seperti itu, maka gereja akan dipenuhi oleh pemimpin yang tidak bertanggung jawab, pemimpin-pemimpin yang hanya menambah masalah baru, pemimpin-pemimpin yang tidak memberikan solusi. Tulisan ini tidak dimaksud untuk mengumbar “kekurangan” hamba Tuhan, tetapi sebagai refleksi kerinduan hati jemaat yang ingin memiliki pemimpin gereja yang bertanggung jawab atas apa yang keluar dari lidah dan bibirnya, pemimpin yang bukan hanya bisa sekedar memberi makanan rohani, tetapi juga pemimpin yang bisa memberikan solusi bagaimana jemaat bisa mandiri secara ekonomi.
Saya percaya, ketika Allah memberi hamba-hamba-Nya visi, maka Allah tidak hanya berbicara sepenggal saja. Tetapi Allah juga memberi hikmat kepada orang tersebut untuk bisa menjabarkan visi tersebut dalam suatu tindakan misi. Karena misi merupakan sebuah bahasa yang menunjukkan pada relasi. Artinya misi dikerjakan dalam bingkai relasi manusia; ia merupakan tugas komunal. Ada konsep tanggung jawab disitu.
William Scwhweiker dalam tulisannya, “Responsibility and Christian Ethics” mengungkapkan, di dalam tanggung jawab terdapat agen-agen yang dapat dimintai tanggung jawab dalam merespons orang-orang atau eksistensi-eksistensi yang berada di luar dirinya, seperti terhadap manusia lainnya, alam dan Tuhan. Jadi ketika pemimpin gereja menyampaikan visi, disitu juga harus ada suatu proses dialog, bagaimana merealisasikan visi tersebut dalam suatu tindakan misi. Dialog yang lebih lanjut dimaksud untuk memberikan pencerahan kepada jemaat agar mereka mengetahui “apa yang harus dilakukan” dan “bagaimana cara melakukannya”.
 Ketika jemaat dengan masing-masing masalah ekonominya sudah mendapat bimbingan “apa yang harus dilakukan” dan tahu “bagaimana cara melakukannya”, maka gambaran untuk membuka (bukan mencari) lapangan pekerjaan baru sudah terbayang. Lalu langkah selanjutnya yang patut menjadi perhatian gereja (dalam hal ini pemimpin gereja) adalah menggerakkan solidaritas sosial dimana gereja mengumpulkan segala sumber daya, termasuk dana untuk mempersiapkan modal (capital) dalam rangka mendukung kontinuitas pembukaan lapangan pekerjaan baru oleh dan bagi jemaat. Dalam perjalanannya, bimbingan dan pengawasan dari gereja tentunya tetap diperlukan agar sumber daya yang sudah dimanfaatkan bisa terjaga dan terus ditumbuh-kembangkan.
 Mungkin gereja-gereja masih berpikir konservatif bahwa gereja tidak boleh masuk ke bidang bisnis. Tapi bukankah gereja dimasa ini sudah seharusnya memiliki strategi jangka panjang yang terbaik untuk menolong orang-orang miskin dalam mengatasi kesulitan mereka dengan berupaya memampukan mereka menciptakan kekayaan yang baru, paling tidak bagi diri mereka sendiri, jadi bukan hanya sekedar mencari makan untuk besok. Bukankah dengan cara ini nama Allah juga dipermuliakan, sebagaimana perintah-Nya kepada kita untuk selalu mengingat orang-orang miskin dan sekaligus mengasihi mereka (Gal. 2:10; Mat. 25:39-40).
 Kita patut bersyukur sekarang ini ada beberapa gereja yang sudah mulai memahami khitahnya bahwa gereja tidak hanya bergerak di bidang kenabian saja, tapi juga terlibat dalam pembangunan sosial ekonomi negara, paling tidak sosial ekonomi jemaat dan warga sekitar gereja, syukur-syukur bisa bergandengan tangan dengan gereja lainnya sehingga tercapailah tujuan; Gereja Tuhan menjadi terang bagi sekelilingnya.

“Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga." (Mat. 5:16).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar