Kamis, 18 Maret 2010

YUSUF DAN MENGATASI KEMISKINAN DALAM GEREJA I

By: Hikman Sirait
PraktisiPasar Modal & Pengamat Sosial Ekonomi

Suatu ketika saya mendengarkan visi dari beberapa pemimpin gereja dimana saat itu saya beribadah. Inti dari apa yang disampaikan adalah dorongan supaya jemaat bisa menjadi Yusuf-Yusuf yang diberkati berlimpah oleh Tuhan, tidak hanya secara rohani tetapi juga secara materi untuk kemudian dapat memberkati orang lain.
Tidak ada yang salah dengan apa yang disampaikan tersebut. Bisa dibilang visi ini sebenarnya merupakan visi yang besar dan mulia. Namun seperti biasanya, para pemimpin gereja hanya terbiasa menyampaikan visi
dengan menggebu-gebu tanpa memberitahukan langkah konkritnya, sehingga visi tinggal visi tanpa pernah ada realisasinya dan tidak memberikan manfaat yang nyata bagi jemaat. Bila kita mau jujur, kadang kala kita bingung sendiri dengan begitu banyaknya visi yang disampaikan tapi tidak ada aksi, tak ada evaluasi.
Tetapi mari kita coba menggali dan berupaya memahami tentang visi seperti yang diungkap di atas.
Pertanyaan dasar pertama yang coba kita pahami adalah: Apa latar belakang pemimpin gereja menyampaikan visi tersebut? Apakah sekedar tertarik dengan kegigihan Yusuf dalam menjalani kehidupannya yang penuh kerikil-kerikil tajam, namun tetap berada dalam koridor Tuhan, atau tertarik dengan keberhasilannya menjadi orang Israel pertama yang paling berpengaruh dan kaya di tanah Mesir ditengah kondisi ekonomi negara-negara sekelilingnya yang sangat terpuruk saat itu dimana terjadi kemiskinan dan kelaparan besar (Kej. 37, 39-47).
Mungkin jawaban kedualah yang mendorong hamba Tuhan tersebut untuk menyampaikan visi itu agar jemaat menjadi Yusuf-Yusuf yang nantinya memberkati orang lain. Mengapa? Karena kondisi yang terjadi pada masa Yusuf bisa dibilang tidak berbeda jauh dengan kondisi ekonomi global saat ini.
Masa-masa sekarang ini pertumbuhan penduduk jauh lebih besar ketimbang penciptaan lapangan pekerjaan (seperti deret ukur dan deret hitung), sehingga jumlah pengangguran setiap tahunnya terus bertambah dan semakin membludak. Kapitalisme dengan perdagangan bebasnya semula diharapkan bisa menguntungkan semua negara, namun faktanya negara-negara maju ternyata semakin kaya dan rakus. Sementara negara-negara miskin semakin terjerumus dalam lembah kemiskinan bahkan kerap kali ditipu secara ekonomi oleh negara kaya. Akibat keserakahan dan kerakusan serta kerusakan tatanan ekonomi, resesi ekonomi global terburuk pasca resesi perang dunia kedua kembali terjadi. Kali ini dampaknya meluas dan semakin menyiksa negara-negara miskin.
Bagaimana dengan Indonesia? Tak bisa dipungkiri, dampak krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997/1998 masih terasa sampai pertengahan tahun 2008. Dan kini sudah harus ditambah lagi dengan resesi ekonomi global yang baru.
Sekarang persoalan kemiskinan menjadi isyu utama yang terus dibicarakan dan berupaya diselesaikan, karena menyangkut masalah keamanan dan stabilitas suatu negara. Demikian juga dengan Indonesia yang tidak lepas dari masalah kemiskinan. Bila dikerucutkan, masalah kemiskinan juga tengah melanda sejumlah gereja-gereja hingga ke jemaat-jemaat.
Banyak gereja yang sudah “gemuk”, tapi gereja yang “kurus” bahkan hingga “kurus ceking” juga tak kalah banyaknya. Kita tidak usah bicara tentang gereja yang masuk kategori terakhir. Di dalam gereja yang “gemuk” saja masih banyak jemaat yang hidupnya secara ekonomi tergolong kelas bawah sehingga kebanyakan dana diakonia ditujukan untuk membantu mereka.
Memang belum ada survey yang dilakukan untuk mengetahui seberapa besar jumlah orang miskin yang ada dalam suatu gereja. Atau kita memang tidak mau melakukan survey dan tidak mau mendata karena takut menerima kenyataan bahwa di dalam sebuah gereja ternyata menganga masalah kemiskinan yang pada akhirnya merusak image bahwa orang-orang Kristen adalah orang-orang yang diberkati secara materi.
Apapun itu, yang pasti kita tak bisa menutup mata dan tak bisa memungkiri bahwa masalah sosial ekonomi, terutama persoalan kemiskinan sudah seharusnya menjadi pergumulan gereja dan menjadi pemikiran kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar